MAKALAH
PEMBUATAN PEWARNA KAIN
DARI
EKSTRAK DAUN JATI
DISUSUN
OLEH :
RISCA
WAHYU FEBRIANI
4 Kimia
Analisis 2
SMK
N 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG
Jl. Kadar
Maron Kotak Pos
104 Temanggung
TAHUN 2016/2017
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu negara yang
mempunyai kekayaan sumber daya alam yang cukup melimpah, Indonesia merupakan
negara yang sangat potensial dalam penyediaan bahan baku bersumber dari alam.
Namun pada kenyataannya sumber daya alam yang dimiliki belum dikelola dengan
maksimal kendati secara tradisionalpengelolaannya telah
dilakukan oleh nenek moyang kita.
Tumbuhan pewarna alam merupakan salah satu sumber daya alam yang
mempunyai potensi untuk digunakan sebagai zat pewarna tekstil di Indonesia,
khususnya dalam pengembangan produk yang bernuansa naturalis, imitive, kulturis
dan eksklusif serta dapat menjadi bahan baku industri tekstil yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi.
Penggunaan zat warna sintetis yang digunakan dalam proses pewarnaan
bahan tekstil telah banyak menimbulkan masalah lingkungan karena beberapa zat
warna sintetis mengandung polutan berupa logam berat yang berbahaya. Logam
berat tersebut antara lain adalah Cu, Ni, Cr, Hg dan Co (Sugiyana, 2003).
Polutan tersebut pada akhirnya akan terbuang dalam perairan umum dan mencemari
lingkungan, khususnya lingkungan perairan (Wagner, 2003).
Sejak 1 Agustus 1996, negara-negara maju seperti Jerman dan Belanda
telah melarang penggunaan zat pewarna berbahan kimia. Larangan ini mengacu pada
CBI (Centre for the promotion of imports from developing countries) Ref,
CBI/NB-3032 tanggal 13 juni 1996 tentang zat pewarna untuk bahan pakaian/clothing,
alas kaki/footwear, sprei/bedlinen tidak boleh menggunakan zat
warna yang mengandung bahan kimia, tetapi zat warna yang tidak mempunyai efek
samping terhadap lingkungan dan kesehatan yakni zat warna alam (Kwartiningsih,
2009).
Polutan zat warna yang mempunyai dampak serius terhadap lingkungan
antara lain adalah logam-logam berat dan “intermediate dyes” yang
bersifat mutagenik. Kandungan logam tersebut, diantaranya: Cu, Ni,
Cr, Hg dan Co (Tanziz, 2009). Untuk itu sudah saatnya penggunaan zat warna
sintetis digantikan oleh zat warna yang aman dan ramah lingkungan.
Banyaknya jenis tumbuhan pewarna alam yang mempunyai potensi sebagai
bahan baku pembuatan zat warna alam perlu diteliti. Ketersediaannya yang
melimpah, mudah terbaharukan, murah dan mudah penggunaannya menjadi satu
pemikiran untuk memanfaatkan tumbuhan pewarna alam sebagai zat warna tekstil
yang tidak hanya diminati oleh industri/ pengrajin tekstil lokal tetapi juga
yang ada diseluruh Indonesia, bahkan di luar negeri.
Sampai saat ini ada beberapa kendala dalam penggunaan zat warna alam,
diantaranya adalah proses pewarnaannya membutuhkan waktu yang lama karena
sebelum pewarnaan, kain harus diproses mordanting selama 2-24 jam,
setelah itu baru dilakukan proses pewarnaan selama 30 menit dan pengeringan
yang harus diulang sebanyak 2-3 kali. Selain itu warna yang dihasilkan monoton,
yaitu hanya biru dan coklat.
Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut guna memperoleh jenis
tumbuhan baru yang dapat digunakan sebagai zat warna tekstil, khususnya yang
mempunyai warna berbeda agar dapat memenuhi kebutuhan pilihan warna yang
diinginkan oleh pengerajin/industri tekstil. Selain itu untuk mendapatkan
teknik/cara pewarnaan yang lebih baik, guna memperoleh hasil pewarnaan yang
lebih optimal dengan waktu yang lebih singkat sehingga penggunaan zat warna
alam lebih diminati.
ISI
1. Zat Warna
Tekstil
Zat warna
alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari
sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah sejak dahulu digunakan untuk pewarna
makanan dan sampai sekarang penggunaannya secara umum dianggap lebih aman
daripada zat warna sintetis. Selain itu penelitian toksikologi zat warna alami
masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan
senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan,
iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya. Zat warna alam pada umumnya diperoleh
dari tumbuhan, antara lain kunyit (Curcuma), kesumba (Bixa orelana),
daun jambu biji (psidium guajava), daun jarak (jatropha curcas
linneaus), daun jati (Tectona gradis sp) dan kayu ulin (Eucideroxylon
zwageri). Salah satu kendala pewarnaan dengan menggunakan zat warna alam
adalah kesulitan dalam hal pengemasan dan transportasi serta daya tahan zat
warna alami tidak dapat bertahan lama. Zat warna alam tersebut sebelum
digunakan harus diekstraksi terlebih dahulu. Ekstraksi biasanya dilakukan
dengan perebusan, soxhlet, ataupun dengan menggunakan alat ekstraktor. Hasil
ekstrak zat warna alam tersebut masih dalam bentuk cair sehingga sulit untuk
digunakan dan kurang praktis. Oleh karena itu, ekstrak zat warna yang masih
berbentuk cair ini dikerngkan sehingga menjadi serbuk. Pembuatan serbuk zat
warna memerlukan alat pengering. Alat pengering yang dapat dipakai adalah spray
dryer dan oven.
Zat warna
tekstil tekstil itu digolongkan menjadi dua yaitu: yang pertama adalah zat
pewarna alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari bahan – bahan alam pada
umumnya dari hewan ataupun tumbuhan dapat berasal (akar, batang, daun, kulit,
dan bunga ). Sedangkan yang kedua adalah zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu zat
warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia. (Noor Fitrihana., 2007)
Sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan. Di dalam tumbuhan
terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut
struktur kimianya yaitu: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Sifat
dari pigmen – pigmen ini umumnya tidak stabil terhadap panas, cahaya, dan pH
tertentu. Khlorofil (chlorophil) adalah kelompok pigmen fotosintesis
yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, serta
merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya.
Terdapat dalam kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang diserap sebagai energi
untuk reaksi-reaksi cahaya dalam proses fotosintesis. Klorofil A merupakan
salah satu bentuk klorofil yang terdapat pada semua tumbuhan autotrof. Klorofil
B terdapat pada ganggang hijau chlorophyta dan tumbuhan darat. Klorofil C
terdapat pada ganggang coklat Phaeophyta serta diatome Bacillariophyta.
Klorofil D terdapat pada ganggang merah Rhadophyta. Akibat adanya klorofil,
tumbuhan dapat menyusun makanannya sendiri dengan bantuan cahaya matahari.
(Arthazone., 2007)
Karotenoid
adalah pigmen yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air yaitu pigmen
zat warna kuning orange sampai merah. Karotenoid dikenal dalam 2 bentuk : (Made
Astawan., 2005)
a. Alfa karotenoid
(α karotena)
b. Beta karotenoid
(β karotena)
Antosianin yaitu
pigmen yang larut dalam air , yang dapat memberikan warna merah, biru, atau
keunguan. Antosianin bagi kesehatan berfungsi sebagai antioksidan.(S. D,
Indisari., 2006)
Tanin
ialah pigmen pembentuk warna gelap. Tanin merupakan senyawa kompleks biasanya
campuran polifenol tidak mengkristal (tannin extracts) . Tanin disebut
juga sebagai asam tanat dan asam galatanat. Efin dan Endah., (2007) melakukan
percobaan tentang adanya pengaruh waktu dan konsentrasi setimbang yang
diperoleh terhadap banyaknya hasil ekstrak dalam pembuatan zat warna alami dari
biji kesumba dengan menggunakan ekstraktor berpengaduk dan soxhlet yaitu
diketahui bahwa semakin banyak waktu ekstraksi maka konsentrasi zat warna dalam
pelarut semakin besar hingga dicapai konsentrasi konstan. Hal ini dipengaruhi
oleh waktu kontak antara padatan dengan pelarut, dan adanya perbedaan
konsentrasi antara zat warna yang ada didalam biji kesumba dan zat warna dalam
pelarut. Hasil dari ekstrak 20 gr biji kesumba dengan 200 ml pelarut,
konsentrasi zat warna setimbang dalam 70 menit, sedangkan dari 60 gr biji dengan
200 ml pelarut, konsentrasi setimbang dalam 100 menit. Pada waktu tersebut zat warna
yang terekstark sangat kecil sehingga sudah tidak dapat di amati ( konsentrasi
sudah konstan). (Efin dan Endah., 2007).
2. Tanaman
jati
Gambar
II.1 Daun Jati (Tectona grandis sp.)
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi.
Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun
besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa
Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam,
bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona
grandis L.f..
Pohon jati
(Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan
ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata
mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter. Pohon jati yang
dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan
sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur
lebih daripada 80 tahun. Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan,
dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar,
sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar
15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya.
Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah
apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di
bukubukunya.
Daun jati
letaknya saling berhadapan berbentuk opposite bertangkai pendek.
Permukaan daun bagian atas berwarna hijau dan kasar sedangkan bagian bawah
berwarna hijau kekuning-kuningan berbulu halus, diantara rambut- rambutnya
terdapat kelenjar merah yang menggembung, sedangkan daun yang masih muda
berwarna hijau tua keabu-abuan.
Daun jati
dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus
makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya
adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati
juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai
pembungkus tempe.
Klasifikasi ilmiah
jati adalah :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Verbenaceae
Genus : Tectona
Spesies : T. Grandis
Nama binomial : Tectona
grandis
Di
Indonesia, jati tersebar di Jawa, Muna, Bali dan Nusa Tenggara. Sekarang, di
luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat
di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru.
Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera. Ada sekitar 7.000 ha
di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa.
Di Pulau
Jawa hutan jati tersebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke
ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di
daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa
dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah.
Pada 2003,
luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas
lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris
setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau
Jawa. (Anonim., 2009). Kandungan dari jati antara lain :
a.
Kandungan kimia
• Kulit: asam,
damar, zat samak
• Tanaman/ daun :
zat pahit, glukose dan lemak
• Efek
farmakologis : anti diare, astringen, dan menguruskan badan
dengan cara
melarutkan lemak.
b.
Kandungan fisik :
• Daun
tunggal, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal
berlekuk, penulangan menyirip, panjang 10 – 16 cm, warna hijau. (Anonim., 2009)
3. Proses
Pewarnaan Pada Tekstil
Proses
pewarnaan pada tekstil secara sederhana meliputi mordanting, pewarnaan,
fiksasi, dan pengeringan. Mordanting adalah perlakuan awal pada kain yang akan
diwarnai agar lemak, minyak, kanji, dan kotoran yang tertinggal pada proses
penenunan dapat dihilangkan. Pada proses ini kain dimasukkan ke dalam larutan
tawas yang akan dipanaskan sampai mendidih. Proses pewarnaan dilakukan dengan
pencelupan kain pada zat warna. Proses fiksasi adalah proses mengunci warna
kain. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan air atau tawas. (Moerdoko.,
1975)
a. Proses mordanting .
Bahan
tekstil yang hendak diwarna harus diproses mordanting terlebih dahulu. Proses
mordanting ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik zat warna alami
terhadap tekstil serta berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman warna
yang baik.
b. Pembuatan
larutan fixer ( pengunci warna )
Pada
pecelupan bahan tekstil dengan zat warna alam dibutuhkan proses fiksasi yaitu
proses penguncian warna setelah bahan dicelup dengan zat warna alam agar
memiliki ketahanan luntur yang baik, ada tiga jenis larutan fixer yang biasa
digunakan yaitu tunjung (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3), dan kapur tohor (CaCO3).
Untuk itu sebelum melakukan pencelupan kita perlu menyiapkan larutan fixer
terlebih dahulu dengan cara: ( Noor Fitrihana., 2007)
i. Larutan fixer
tunjung : larutkan 70 gram tunjung dalam tiap liter air yang digunakan (resep
ini bisa divariasikan). Biarkan mengendap dan ambil larutan beningnya.
ii. Larutan fixer
tawas : larutkan 70 gram tawas dalam tiap liter air yang digunakan. Biarkan
mengendap dan ambil larutan beningnya.
iii. Larutan fixer
kapur tohor : larutkan 70 gram kapur tohor dalam tiap liter air yang digunakan.
Biarkan mengendap dan ambil larutin beningnya. Dari percobaan yang telah
dilakukan oleh Dhika Erry S, Erna S, Gatot Heri P, dan Nugroho S. (2009) proses
fiksasi pada kain yang telah diwarnai dengan zat warna alami dari daun jati
difiksasi menggunakan larutan tawas (5 gr tawas dalam 1 liter air). ( Dhika,
Erna, Gatot dan Nugroho., 2009)
4. Metodologi
penelitian
1. Sampel
Sampel dari
penelitian ini adalah daun jati yang masih muda (2 – 3 bagian terujung/pucuk)
diambil daun yang tidak kaku dan berwarna merah kecoklatan sampai merah
kehijauan dalam kondisi segar dan bebas penyakit.
2. Alat dan bahan
Alat yang digunakan
· Labu
erlenmeyer
· Gelas
beaker
· Gelas ukur
· bola hisap
(plunger)
· tabung
reaksi
· timbangan analitik
· seperangkat
alat kromatografi kertas
· penguap
berputar (rotary eveporator)
· penyaring
buchner
· spektrofotometer
uv-vis)
· pipet
tetes
· pipet
volume
· pengaduk
· rak tabung
reaksi
· gelas
arloji
· pipet ukur
· pemanas
· condensor
Bahan yang digunakan
· daun jati
yang masih muda
· metanol
· HCl pekat
1 %
· HCl 2M
· NaOH 2M
· BAA
(n-butanol: asam asetat: aquades = 4: 1:5)
· Bu HCl (n
– butanol : HCl 2M = 1:1, lapisan atas)
· asam
asetat- air- HCl 30% (30:10:3)
· larutan
buffer
· aquades
· kertas saring
Whatman no.41
· mencit jantan putih Swiss
5. Prosedur
penelitian
1. Ekstraksi daun jati
Daun jati yang telah dipotong dan ditimbang
seberat 100 gr lalu dimaserasi dalam 250 mL pelarut campuran methanol: HCl 1%
(9:1). Kemudian disaring dengan corong Buchner. Filtrat hasil penyaringan
dimasukkan ke dalam corong pisah yang kemudian ditambahkan 50 mL petroleum
eter. Kemudian diekstrak sebanyak 3 kali. Setelah itu akan didapatkan ekstrak
kasar yang kemudian dipekatkan dengan Rotary Evaporator untuk memperoleh
ekstrak pekat.
2. Pengujian antosianin.
a.
Sampel dipanaskan dengan 10 mL HCl 2 M
pada suhu 100°C selama 5 menit. Terbentuknya warna merah tua yang stabil
memberikan hasil yang positif adanya antosianin.
b.
Sampel ditambahkan dengan NaOH 2 M tetes
demi tetes. Warna hijau yang terbentuk menunjukkan adanya antosianin.
3. Pemisahan antosianin menggunakan kromatografi kertas
Ekstrak
pekat ditotolkan pada kertas saring sebanyak 5 kali dengan selang waktu
penotolan satu dan lainnya menunggu spot penotolan sebelumnya kering dan
sebelum dielusi juga ditunggu sampai kering. Setelah itu di buat 3 jenis
komposisi pelarut yaitu: n-butanol- asam asetat glasial- air (4:1:5), asam
asetat- air- HCl 30% (30:10:3), n-butanol HCl 2M (1:1). Deteksi noda dilakukan
dengan memeriksa kenampakannya dan nilai Rf-nya.
4. Identifikasi Hasil Isolasi Antosianin dengan Spektrofotometer UV-VIS
Isolat
hasil pemisahan kromatografi kertas preparatif kemudian diidentifikasi
menggunakan spektrofotometr Uv-Vis pada 200-800 nm dengan blanko metanol- HCl
1% (9:1) sebanyak 10 mL.
5. Uji kestabilan antosianin daun jati terhadap keragaman pH dan suhu
Percobaan
dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial.
Pada penelitian ini diamati perubahan absorbansi dan tampilan warna pada
perbedaan nilai pH (faktor I) dan suhu pemanasan (faktor II). Keragaman nilai
pH meliputi : P1 = pH 1,0 ; P2 = pH 3,0 ; P3 = pH 5,0 ; P4 = pH 7,0 ; pH 9,0.
Untuk faktor kedua meliputi : S1 = 600C, 30 menit dan S2 = 900C, 10 menit.
Pengamatan yang dilakukan meliputi penampakan warna (merah, jingga, tak
berarna, hijau,biru, ungu, coklat kuning), pH dan absorbansi (spektrofotometer).
6. Pembuatan pigmen serbuk
Pewarna
yang diekstrak dengan petroleum eter dicampur dengan dekstrin (10 – 30%) kemudian
dimasukkan dalam spray drier dengan suhu inlet 100 – 11000C dan suhu outlet 50
– 600 0C. Mesin dinyalakan dengan pompa vakum guna mengurangi kerusakan pigmen
oleh oksigen. Bubuk pigmen dikemas dengan plastic gelap (aluminium foil) dan disimpan pada tempat yang
tidak lembab.
No comments:
Post a Comment