Monday, November 19, 2018

PEMBUATAN PEWARNA DARI BAHAN ALAM



MAKALAH PEMBUATAN PEWARNA KAIN
DARI EKSTRAK DAUN JATI


DISUSUN OLEH :
RISCA WAHYU FEBRIANI
4 Kimia Analisis 2



SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG
Jl. Kadar Maron Kotak Pos 104 Temanggung
TAHUN 2016/2017






PENDAHULUAN
Sebagai salah satu negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang cukup melimpah, Indonesia merupakan negara yang sangat potensial dalam penyediaan bahan baku bersumber dari alam. Namun pada kenyataannya sumber daya alam yang dimiliki belum dikelola dengan maksimal kendati secara tradisionalpengelolaannya telah dilakukan oleh nenek moyang kita.  Tumbuhan pewarna alam merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai zat pewarna tekstil di Indonesia, khususnya dalam pengembangan produk yang bernuansa naturalis, imitive, kulturis dan eksklusif serta dapat menjadi bahan baku industri tekstil yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Penggunaan zat warna sintetis yang digunakan dalam proses pewarnaan bahan tekstil telah banyak menimbulkan masalah lingkungan karena beberapa zat warna sintetis mengandung polutan berupa logam berat yang berbahaya. Logam berat tersebut antara lain adalah Cu, Ni, Cr, Hg dan Co (Sugiyana, 2003). Polutan tersebut pada akhirnya akan terbuang dalam perairan umum dan mencemari lingkungan, khususnya lingkungan perairan (Wagner, 2003).
Sejak 1 Agustus 1996, negara-negara maju seperti Jerman dan Belanda telah melarang penggunaan zat pewarna berbahan kimia. Larangan ini mengacu pada CBI (Centre for the promotion of imports from developing countries) Ref, CBI/NB-3032 tanggal 13 juni 1996 tentang zat pewarna untuk bahan pakaian/clothing, alas kaki/footwear, sprei/bedlinen tidak boleh menggunakan zat warna yang mengandung bahan kimia, tetapi zat warna yang tidak mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan kesehatan yakni zat warna alam (Kwartiningsih, 2009).
Polutan zat warna yang mempunyai dampak serius terhadap lingkungan antara lain adalah logam-logam berat dan “intermediate dyes” yang bersifat mutagenik. Kandungan logam tersebut, diantaranya: Cu, Ni, Cr, Hg dan Co (Tanziz, 2009). Untuk itu sudah saatnya penggunaan zat warna sintetis digantikan oleh zat warna yang aman dan ramah lingkungan.
Banyaknya jenis tumbuhan pewarna alam yang mempunyai potensi sebagai bahan baku pembuatan zat warna alam perlu diteliti. Ketersediaannya yang melimpah, mudah terbaharukan, murah dan mudah penggunaannya menjadi satu pemikiran untuk memanfaatkan tumbuhan pewarna alam sebagai zat warna tekstil yang tidak hanya diminati oleh industri/ pengrajin tekstil lokal tetapi juga yang ada diseluruh Indonesia, bahkan di luar negeri.
Sampai saat ini ada beberapa kendala dalam penggunaan zat warna alam, diantaranya adalah proses pewarnaannya membutuhkan waktu yang lama karena sebelum pewarnaan, kain harus diproses mordanting selama 2-24 jam, setelah itu baru dilakukan proses pewarnaan selama 30 menit dan pengeringan yang harus diulang sebanyak 2-3 kali. Selain itu warna yang dihasilkan monoton, yaitu hanya biru dan coklat.
Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut guna memperoleh jenis tumbuhan baru yang dapat digunakan sebagai zat warna tekstil, khususnya yang mempunyai warna berbeda agar dapat memenuhi kebutuhan pilihan warna yang diinginkan oleh pengerajin/industri tekstil. Selain itu untuk mendapatkan teknik/cara pewarnaan yang lebih baik, guna memperoleh hasil pewarnaan yang lebih optimal dengan waktu yang lebih singkat sehingga penggunaan zat warna alam lebih diminati.

ISI

1. Zat Warna Tekstil
Zat warna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang penggunaannya secara umum dianggap lebih aman daripada zat warna sintetis. Selain itu penelitian toksikologi zat warna alami masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan, iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya. Zat warna alam pada umumnya diperoleh dari tumbuhan, antara lain kunyit (Curcuma), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (psidium guajava), daun jarak (jatropha curcas linneaus), daun jati (Tectona gradis sp) dan kayu ulin (Eucideroxylon zwageri). Salah satu kendala pewarnaan dengan menggunakan zat warna alam adalah kesulitan dalam hal pengemasan dan transportasi serta daya tahan zat warna alami tidak dapat bertahan lama. Zat warna alam tersebut sebelum digunakan harus diekstraksi terlebih dahulu. Ekstraksi biasanya dilakukan dengan perebusan, soxhlet, ataupun dengan menggunakan alat ekstraktor. Hasil ekstrak zat warna alam tersebut masih dalam bentuk cair sehingga sulit untuk digunakan dan kurang praktis. Oleh karena itu, ekstrak zat warna yang masih berbentuk cair ini dikerngkan sehingga menjadi serbuk. Pembuatan serbuk zat warna memerlukan alat pengering. Alat pengering yang dapat dipakai adalah spray dryer dan oven.
Zat warna tekstil tekstil itu digolongkan menjadi dua yaitu: yang pertama adalah zat pewarna alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari bahan – bahan alam pada umumnya dari hewan ataupun tumbuhan dapat berasal (akar, batang, daun, kulit, dan bunga ). Sedangkan yang kedua adalah zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia. (Noor Fitrihana., 2007) Sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan. Di dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya yaitu: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Sifat dari pigmen – pigmen ini umumnya tidak stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu. Khlorofil (chlorophil) adalah kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, serta merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya. Terdapat dalam kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang diserap sebagai energi untuk reaksi-reaksi cahaya dalam proses fotosintesis. Klorofil A merupakan salah satu bentuk klorofil yang terdapat pada semua tumbuhan autotrof. Klorofil B terdapat pada ganggang hijau chlorophyta dan tumbuhan darat. Klorofil C terdapat pada ganggang coklat Phaeophyta serta diatome Bacillariophyta. Klorofil D terdapat pada ganggang merah Rhadophyta. Akibat adanya klorofil, tumbuhan dapat menyusun makanannya sendiri dengan bantuan cahaya matahari. (Arthazone., 2007)
Karotenoid adalah pigmen yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air yaitu pigmen zat warna kuning orange sampai merah. Karotenoid dikenal dalam 2 bentuk : (Made Astawan., 2005)
a. Alfa karotenoid (α karotena)
b. Beta karotenoid (β karotena)
Antosianin yaitu pigmen yang larut dalam air , yang dapat memberikan warna merah, biru, atau keunguan. Antosianin bagi kesehatan berfungsi sebagai antioksidan.(S. D, Indisari., 2006)
Tanin ialah pigmen pembentuk warna gelap. Tanin merupakan senyawa kompleks biasanya campuran polifenol tidak mengkristal (tannin extracts) . Tanin disebut juga sebagai asam tanat dan asam galatanat. Efin dan Endah., (2007) melakukan percobaan tentang adanya pengaruh waktu dan konsentrasi setimbang yang diperoleh terhadap banyaknya hasil ekstrak dalam pembuatan zat warna alami dari biji kesumba dengan menggunakan ekstraktor berpengaduk dan soxhlet yaitu diketahui bahwa semakin banyak waktu ekstraksi maka konsentrasi zat warna dalam pelarut semakin besar hingga dicapai konsentrasi konstan. Hal ini dipengaruhi oleh waktu kontak antara padatan dengan pelarut, dan adanya perbedaan konsentrasi antara zat warna yang ada didalam biji kesumba dan zat warna dalam pelarut. Hasil dari ekstrak 20 gr biji kesumba dengan 200 ml pelarut, konsentrasi zat warna setimbang dalam 70 menit, sedangkan dari 60 gr biji dengan 200 ml pelarut, konsentrasi setimbang dalam 100 menit. Pada waktu tersebut zat warna yang terekstark sangat kecil sehingga sudah tidak dapat di amati ( konsentrasi sudah konstan). (Efin dan Endah., 2007).

2. Tanaman jati
Gambar II.1 Daun Jati (Tectona grandis sp.)
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f..
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter. Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun. Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di bukubukunya.
Daun jati letaknya saling berhadapan berbentuk opposite bertangkai pendek. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau dan kasar sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuning-kuningan berbulu halus, diantara rambut- rambutnya terdapat kelenjar merah yang menggembung, sedangkan daun yang masih muda berwarna hijau tua keabu-abuan.
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.
Klasifikasi ilmiah jati adalah :
Kerajaan          : Plantae
Divisi               : Magnoliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Ordo                : Lamiales
Famili              : Verbenaceae
Genus              : Tectona
Spesies : T. Grandis
Nama binomial : Tectona grandis
Di Indonesia, jati tersebar di Jawa, Muna, Bali dan Nusa Tenggara. Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa.
Di Pulau Jawa hutan jati tersebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa. (Anonim., 2009). Kandungan dari jati antara lain :
a.       Kandungan kimia
• Kulit: asam, damar, zat samak
• Tanaman/ daun : zat pahit, glukose dan lemak
• Efek farmakologis : anti diare, astringen, dan menguruskan badan
dengan cara melarutkan lemak.
b.      Kandungan fisik :
• Daun tunggal, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, penulangan menyirip, panjang 10 – 16 cm, warna hijau. (Anonim., 2009)

3. Proses Pewarnaan Pada Tekstil
Proses pewarnaan pada tekstil secara sederhana meliputi mordanting, pewarnaan, fiksasi, dan pengeringan. Mordanting adalah perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji, dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan. Pada proses ini kain dimasukkan ke dalam larutan tawas yang akan dipanaskan sampai mendidih. Proses pewarnaan dilakukan dengan pencelupan kain pada zat warna. Proses fiksasi adalah proses mengunci warna kain. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan air atau tawas. (Moerdoko., 1975)
a. Proses mordanting .
Bahan tekstil yang hendak diwarna harus diproses mordanting terlebih dahulu. Proses mordanting ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik zat warna alami terhadap tekstil serta berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman warna yang baik.
b. Pembuatan larutan fixer ( pengunci warna )
Pada pecelupan bahan tekstil dengan zat warna alam dibutuhkan proses fiksasi yaitu proses penguncian warna setelah bahan dicelup dengan zat warna alam agar memiliki ketahanan luntur yang baik, ada tiga jenis larutan fixer yang biasa digunakan yaitu tunjung (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3), dan kapur tohor (CaCO3). Untuk itu sebelum melakukan pencelupan kita perlu menyiapkan larutan fixer terlebih dahulu dengan cara: ( Noor Fitrihana., 2007)
i. Larutan fixer tunjung : larutkan 70 gram tunjung dalam tiap liter air yang digunakan (resep ini bisa divariasikan). Biarkan mengendap dan ambil larutan beningnya.
ii. Larutan fixer tawas : larutkan 70 gram tawas dalam tiap liter air yang digunakan. Biarkan mengendap dan ambil larutan beningnya.
iii. Larutan fixer kapur tohor : larutkan 70 gram kapur tohor dalam tiap liter air yang digunakan. Biarkan mengendap dan ambil larutin beningnya. Dari percobaan yang telah dilakukan oleh Dhika Erry S, Erna S, Gatot Heri P, dan Nugroho S. (2009) proses fiksasi pada kain yang telah diwarnai dengan zat warna alami dari daun jati difiksasi menggunakan larutan tawas (5 gr tawas dalam 1 liter air). ( Dhika, Erna, Gatot dan Nugroho., 2009)

4. Metodologi penelitian
1. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah daun jati yang masih muda (2 – 3 bagian terujung/pucuk) diambil daun yang tidak kaku dan berwarna merah kecoklatan sampai merah kehijauan dalam kondisi segar dan bebas penyakit.
2. Alat dan bahan
Alat yang digunakan

·      Labu erlenmeyer
·      Gelas beaker
·      Gelas ukur
·      bola hisap (plunger)
·      tabung reaksi
·      timbangan analitik
·      seperangkat alat kromatografi kertas
·      penguap berputar (rotary eveporator)
·      penyaring buchner
·      spektrofotometer uv-vis)
·      pipet tetes
·      pipet volume
·      pengaduk
·      rak tabung reaksi
·      gelas arloji
·      pipet ukur
·      pemanas
·      condensor


Bahan yang digunakan
·      daun jati yang masih muda
·      metanol
·      HCl pekat 1 %
·      HCl 2M
·      NaOH 2M
·      BAA (n-butanol: asam asetat: aquades = 4: 1:5) 
·      Bu HCl (n – butanol : HCl 2M = 1:1, lapisan atas)
·      asam asetat- air- HCl 30% (30:10:3)
·      larutan buffer
·      aquades
·      kertas saring Whatman no.41
·      mencit jantan putih Swiss

5. Prosedur penelitian
1.      Ekstraksi daun jati
     Daun jati yang telah dipotong dan ditimbang seberat 100 gr lalu dimaserasi dalam 250 mL pelarut campuran methanol: HCl 1% (9:1). Kemudian disaring dengan corong Buchner. Filtrat hasil penyaringan dimasukkan ke dalam corong pisah yang kemudian ditambahkan 50 mL petroleum eter. Kemudian diekstrak sebanyak 3 kali. Setelah itu akan didapatkan ekstrak kasar yang kemudian dipekatkan dengan Rotary Evaporator untuk memperoleh ekstrak pekat.
2.      Pengujian antosianin.
a.       Sampel dipanaskan dengan 10 mL HCl 2 M pada suhu 100°C selama 5 menit. Terbentuknya warna merah tua yang stabil memberikan hasil yang positif adanya antosianin.
b.      Sampel ditambahkan dengan NaOH 2 M tetes demi tetes. Warna hijau yang terbentuk menunjukkan adanya antosianin.
3.      Pemisahan antosianin menggunakan kromatografi kertas
Ekstrak pekat ditotolkan pada kertas saring sebanyak 5 kali dengan selang waktu penotolan satu dan lainnya menunggu spot penotolan sebelumnya kering dan sebelum dielusi juga ditunggu sampai kering. Setelah itu di buat 3 jenis komposisi pelarut yaitu: n-butanol- asam asetat glasial- air (4:1:5), asam asetat- air- HCl 30% (30:10:3), n-butanol HCl 2M (1:1). Deteksi noda dilakukan dengan memeriksa kenampakannya dan nilai Rf-nya.
4.      Identifikasi Hasil Isolasi Antosianin dengan Spektrofotometer UV-VIS
Isolat hasil pemisahan kromatografi kertas preparatif kemudian diidentifikasi menggunakan spektrofotometr Uv-Vis pada 200-800 nm dengan blanko metanol- HCl 1% (9:1) sebanyak 10 mL.
5.      Uji kestabilan antosianin daun jati terhadap keragaman pH dan suhu
Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial. Pada penelitian ini diamati perubahan absorbansi dan tampilan warna pada perbedaan nilai pH (faktor I) dan suhu pemanasan (faktor II). Keragaman nilai pH meliputi : P1 = pH 1,0 ; P2 = pH 3,0 ; P3 = pH 5,0 ; P4 = pH 7,0 ; pH 9,0. Untuk faktor kedua meliputi : S1 = 600C, 30 menit dan S2 = 900C, 10 menit. Pengamatan yang dilakukan meliputi penampakan warna (merah, jingga, tak berarna, hijau,biru, ungu, coklat kuning), pH dan absorbansi (spektrofotometer).
6.      Pembuatan pigmen serbuk
Pewarna yang diekstrak dengan petroleum eter dicampur dengan dekstrin (10 – 30%) kemudian dimasukkan dalam spray drier dengan suhu inlet 100 – 11000C dan suhu outlet 50 – 600 0C. Mesin dinyalakan dengan pompa vakum guna mengurangi kerusakan pigmen oleh oksigen. Bubuk pigmen dikemas dengan plastic gelap  (aluminium foil) dan disimpan pada tempat yang tidak lembab.


  



No comments:

Post a Comment

ANALISA KALSIUM (Ca) DALAM BATU KAPUR

MAKALAH ANALISA KALSIUM (Ca) DALAM BATU KAPUR DISUSUN OLEH : RISCA WAHYU FEBRIANI 29 / 4 KIMIA 2 SMK N 1 (STM PEMBAN...